Summary. Tiga Kunci Memahami Agama : Iman, Islam dan Ihsan Di antara perkara-perkara yang ditanyakan kepada Rasulullah saw. oleh Jibril di hadits di atas ialah soal Iman, Islam dan Ihsan, lalu dijawab oleh Baginda Nabi saw. satu persatu. Walau pun pertanyaan itu diajukan satu persatu, tetapi ketiga- tiganya merupakan satu hakikat, yaitu "Agama". Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. pada akhir hadits ini bahwa yang bertanya itu ialah Malaikat Jibril, datangnya untuk mengajar mereka akan "agama" mereka. Jelasnya, "agama" itu jika dipandang dan segi amalan- amalan zahir disebut dengan nama "Islam"; jika dipandangi dari segi kepercayaan dan keyakinan hati disebut dengan nama "Iman"; dan jika dipandang dari segi kesempurnaan cara pelaksanaan dua perkara itu disebut dengan nama "Ihsan". Tiga perkara yang dipandang dari segi-segi yang berlainan itu tidak harus dipisahkan antara satu dengan yang lain. "Agama" itu adalah ibarat sebatang pohon, - Akar umbinya serta usul asalnya bahkan benihnya ialah "Iman"; dan seluruh pohon itu meliputi batangnya, dahannya, rantingnya, daunnya, ialah "Islam"; adapun kesuburannya, keharumannya, kemanisannya dan seluruh keindahannya serta bunganya dan buahnya ialah "Ihsan".
Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiann- ya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandan- ya“, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya“, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “. (Riwayat Muslim)
Tiga Kunci Memahami Agama : Iman, Islam dan Ihsan
Di antara perkara-perkara yang ditanyakan kepada Rasulullah saw. oleh Jibril di hadits di atas ialah soal Iman, Islam dan Ihsan, lalu dijawab oleh Baginda Nabi saw. satu persatu. Walau pun pertanyaan itu diajukan satu persatu, tetapi ketiga- tiganya merupakan satu hakikat, yaitu "Agama". Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. pada akhir hadits ini bahwa yang bertanya itu ialah Malaikat Jibril, datangnya untuk mengajar mereka akan "agama" mereka.
Jelasnya, "agama" itu jika dipandang dan segi amalan- amalan zahir disebut dengan nama "Islam"; jika dipandangi dari segi kepercayaan dan keyakinan hati disebut dengan nama "Iman"; dan jika dipandang dari segi kesempurnaan cara pelaksanaan dua perkara itu disebut dengan nama "Ihsan". Tiga perkara yang dipandang dari segi-segi yang berlainan itu tidak harus dipisahkan antara satu dengan yang lain.
"Agama" itu adalah ibarat sebatang pohon, - Akar umbinya serta usul asalnya bahkan benihnya ialah "Iman"; dan seluruh pohon itu meliputi batangnya, dahannya, rantingnya, daunnya, ialah "Islam"; adapun kesuburannya, keharumannya, kemanisannya dan seluruh keindahannya serta bunganya dan buahnya ialah "Ihsan".
Syahadat Primordial
Manusia adalah makhluk yang sudah mempunyai syahadat primordi- al dengan Allah di alam arwah (ruh), sebelum kita lahir ke dunia ini, bahwa kita mengakui dan bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan dan satu-satunya obyek di mana semua tujuan dan niat kita tujukan.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak- anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Al-A`raf 7 : 172)
Bagi Yasien Muhamed, dalam bukunya Konsep Fitrah Dalam Islam, mengatakan bahwa setiap bayi yang lahir sesungguhnya membawa fitrah untuk berserah diri kepada Allah (Islam). Potensi fitrah ini bagaikan benih, yang berkembang dan tidaknya tergantung pada kita. Allah hanya menjadikan satu hati dalam rongga manusia dan telah mengilhamkan kepada jiwa kejahatan dan ketaqwaan. Tergantung kepada kita mau kita isi apa hati tersebut dan siapakah yang menang dalam pertarungan antara kejahatan dan ketaqwaan.
“Allah tiada menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya” ((Al-Ahzab 33: 4).
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams 91 : 7-10)
Selanjutnya, karena manusia terlanjur bersyahadah bahwa Allah-lah satu-satunya Tuhan mereka, maka sebagai konsekwensinya manusia wajib menjadikan Allah satu-satunya sembahan, tempat meminta pertolongan, dan tujuan bagi semua aktivitasnya. Bukankah dalam setiap salat, kita berikrar bahwa hanya kepada-Nya kita menyembah dan memohon pertolongan (Al-Fatihah 1:5). Artinya kita dilarang mencari tuhan-tuhan lain seperti hawa nafsu, harta, jabatan, wanita, pekerjaan dan lain-lain selain Allah ( Al-Furqon 25: 43; Al- Jaatsiyah 45: 23).
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (Al-Furqon 25 : 43)
Kalau di dunia ini manusia menjadikan selain Allah sebagai tuhan, lebih mementingkan yang selain Allah, maka selain melanggar dan bertentangan dengan syahadah mereka, pada hakikatnya menging- kari fitrahnya sendiri. Dan apa yang terjadi kemudian? Mereka akan mengalami kegelisahan, keterasingan, ketidaktentraman, karena fitrahnya tidak menemukan tempat sejatinya, yaitu kepasrahan kepada Allah.3 Mereka menurut Jalaluddin Rumi bagaikan seruling bambu yang terus mengeluarkan suara (rintihan) karena terpisah dari rumpun bambunya.
Dan yang paling kita takutkan adalah akibatnya nanti di akhirat, karena mereka termasuk orang-orang yang paling menyesal karena di sana sudah tidak ada alasan lagi untuk mengatakan, innaa kunna `an hadzaa ghaafiliin, sesungguhnya kami lalai akan perjanjian primordial tersebut . Naudzu billaah min dzaalik (kita berlindung kepada Allah dari keadaan yang seperti ini).
Syahadat : Negasi dan Konfirmasi
Syahadat adalah kalimat persaksian, yaitu mengucapkan lafal “Asyhadu an laa ilaaha illallah (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah).” Menjadi seorang muslim, atau menjadi seseorang yang mempunyai pegangan hidup yang benar, dimulai dengan ucapan “Tidak ada Tuhan kecuali Allah.” Para ulama menguraikan lafal sederhana, tetapi sangat mendasar dengan membagi dua bagian laa ilaaha (tiada Tuhan) dan illallah (selain Allah). Laa ilaaha adalah peniadaan Tuhan. Kemudian lafal illallah adalah peneguhan (itsbat) kecuali Allah.
Kita sudah biasa mengucapkan lafal ini, tetapi mungkin sebagian kita lupa maknanya yang sangat mendalam, bahwa untuk menjadi orang yang benar bukanlah dimulai dengan “Aku percaya kepada Allah”, tetapi dimulai dengan “Aku tidak percaya kepada semua kepercayaan”. Dengan perkataan lain, dimulai dengan pembebasan diri dari berbagai kepercayaan yang ada dalam masyarakat. Kemudian kita luruskan diri kita pada kepercayaan yang benar. Mengapa hal ini terjadi? Mengapa ada proses negasi dan konfirmasi, nafi dan itsbat, atau peniadaan dan peneguhan? Itu terjadi karena sebetulnya problem manusia ialah bukan tidak percaya kepada Tuhan.
Percaya kepada Tuhan ialah paling alamiah (fitrah). Oleh karena itu, praktis tidak ada manusia yang tidak percaya kepada Tuhan. Tetapi persoalannya ialah kepercayaannya kepada Tuhan itu tidak benar, baik caranya maupun pemahamannya. Padahal setiap kepercayaan selalu membelenggu. Setiap kepercayaan mengikat kita, dan kita semua menjadi hamba/budak dari apa yang kita percayai. Misalnya, kalau kita percaya bahwa batu akik yang kita pakai pada jari adalah pembawa rezeki kepada kita, maka secara apriori kita kalah oleh batu itu, kita terikat olehnya.